TUGAS ANALISIS JURNAL
MSDM
REVIEW
PERAN DIKLAT/PELATIHAN
0leh Zanariah
1. Pendahuluan
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
kunci dalam menentukan kesuksesan sebuah organisasi/lembaga untuk mencapai
tujuan. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian pihak organisasi/lembaga terkait
untuk mempersiapkan dan meningkatkan kualitas SDM yang ada berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki SDM yang bersangkutan.
Di beberapa negara Maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
dan Cina, soal ketersediaan Sumber Daya Manusia menjadi masalah penting.
Masing-masing negara ini mengalokasikan dana yang besar untuk meningkatkan
kualitas SDM masing-masing melalui berbagai program human development. Jepang sudah dimulai sejak Era Keterbukaan
dengan mengirim sebanyak-banyaknya sumber daya potensial ke berbagai tempat
guna belajar dan menggali pengalaman. Cina pun mengikuti dengan melakukan hal
yang sama.
Indonesia masih terhitung tercecer di belakang.
Program-program human development
masih bersifat terbatas dan di sector yang kurang begitu penting. Kesempatan
untuk menimba ilmu dan pengalaman di luar negeri misalnya masih diharapkan
melalui program beasiswa asing, bukan dari sumber utama pembiayaan dalam
negeri. Akibatnya, disiplin keilmuan yang diambil sangat ditentukan kepentingan
pemberi beasiswa, bukan apa yang menjadi kebutuhan kita. Akibat lebih jauh,
mengutip UNDP tahun 2012, Human Development Index kita di posisi 121 dari 186 negara
dengan kategori 'low human development'.
2. Studi
Kasus: Peningkatan Kualitas SDM Di Provinsi Jawa Tengah
Dengan mengacu pada artikel yang ditulis oleh
Dra. Hesti Lestari, M.S, Dra. Dyah Lituhayu, M.Si dari Jurusan Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS DIPONEGORO, ditemukan
satu studi kasus menarik yang sekaligus dapat menjadi titik anjak memahami
lebih jauh pentingnya pelatihan guna meningkatkan kualitas SDM peran
pendidikan.
Artikel tersebut merupakan hasil phenomenological research menyangkut
kualitas SDM di provinsi Jawa tengah. Dalam artikel yang bagaimana meningkatkan
kualitas SDM ada acuan-acuan teoritik sekaligus praktik yang dapat dipolakan
sebagai pengembangan kualitas SDM di berbagai wilayah lain di Indonesia,
termasuk ke berbagai sektor misalnya, pendidikan dengan spesifik lagi yakni,
bagaimana meningkatkan kualitas guru.
Artikel fokus ke sejauhmana optimalisasi
peran diklat dalam meng-up grade kualitas SDM. Optimalisasi peran dan fungsi
diklat ini tidak terlpas dari ranah metodologi dan orientasi materi ajar
sebagaimana disebutkan dalam artikel. Metode dan materi yang diajarkan akan
berperngaruh terhadap minat belajar peserta diklat, berpengarauh pada
peningkatan profesionalitas peserta, terutama dalam mengemban tugas,
melaksanakan fungsi serta peranannya.
Sebagaimana disebutkan dalam artikel, istilah
profesional itu berlaku untuk semua aparatur pemerintahan mulai tingkat atas
sapai tingkat bawah. Profesionalisme dapat diartikan sebagi suatu kemampuan dan
ketrampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan
masing-masing. Profesionalisme menyangkut kecocokan, antara kemampuan yang
dimiliki olehbiroktasi dengan kebutuhan tugas, terpenuhi kecocokan anatar
kemampuan dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang
profesional. Artinya kehalian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan
tujuan yang ingin dicapai oelh sebuah oragnisasi (Kurniawan, 2005:74)
Berelasi langsung dengan upaya
profesionalitas di atas, keberadaan Diklat (Pendidikan dan Pelatihan) diyakini
memainkan peran penting. Seperti disebutkan dalam artikel diklat pegawai negeri
adalah upaya-upayayang dilakukan bagi pegawai negeri untuk meningkatkan
kepribadian, pengetahuan, dan kemampuan sesuai dengan tuntutan persyaratan
jabatan dan pekerjaannya sebagai pegawai negeri (SANKRI : 2003-271). Di dalam
peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2001 Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa
“pendidikan dan pelatihan jabatan PNS adalah proses penyelenggaraan belajar
mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan PNS”.
Diklat dapat dikegeorikan menjadi: (1) diklat khusus, (2) diklat pim, dan (3)
diklat kursus. Diklat khusus biasanya diikuti oleh mereka yang menduduki bidang
tertentu yang membutuhkan keahlian dibidang tertentu, misalnya saja untuk
teknologi informasi. Adanya diklat khusus ini membantu pegawai tersebut dapat
meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan tugas. Kemudian untuk diklat pim,
diklat tersebut diikuti oleh mereka yang berada dijabatan structural atau akan
naik pangkat. Selanjutnya adalah diklat kursus.
Kasus di Jawa Tengah, seperti disevutkan
dalam artikel, memuat keselearasan dalam hal teori dan praktik. Mengaju ke
kerangka teoritik, baik berkenaan dengan SDM (Human development program) maupun instrumen pendidikan (development) terkait yang dalam hal ini
Diklat, memuat poin-poin orientasi yang
saling melengkapi.
Kesadaran (awaraness) pada nilai-nilai
profesionalisme dan pelayanan publik, pengetahuan (knowledge) yang berhubungan dengan upayaupaya inovatif dan
pengembangan gagasan-gagasan baru serta aplikasi yang lebih tepat sasaran.
Keterampilan (skill) yang bersumber
dari potensi personal yang kekembangkan dan dimunculkan berselaras dengan
kebutuhan sosial dan profesi. Peningkatan skill
nantinya akan sangat berkait terkait kualitas kinerja dan capaian target kerja.
Hal terakhir ialah, kemampuan bekerja sama dan berkolaborasi. Yang disebut
terakhir ini berkenanan dengan kerangka dan nilai-nilai yang dijadikan acuan
dalam mengembangkan kultur kerja, iklim kepemimpinan, pola promosi, termasuk
soal reward dan punisment.
3. Diklat/Pelatihan
dan Pendidikan Lanjut pada Guru
Begitu pun juga halnya dengan lembaga pendidikan,
guru merupakan SDM yang sangat krusial keberadaannya, sebagai kunci dalam
peningkatan mutu pendidikan serta menjadi titik sentral dari setiap usaha
reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Telah
banyak pakar pendidikan yang menyimpulkan bahwa keberhasilan pendidikan di
suatu sekolah terutama sekolah lanjutan tingkat atas (SMU/SMK/MA) sangat
tergantung pada 3 komponen utama, yaitu siswa itu sendiri, guru, fasilitas dan
kredibilitas lembaga, serta ditambah dengan bentuk manajemen yang dijalankan.
Bahkan dalam dunia pendidikan, mereka yang terlibat langsung dalam peningkatan
kualitas lembaga dan pendidikan adalah staf pengajar.[1] Logis memang pendapat tersebut karena guru yang secara
langsung melakukan proses pengajaran, memberikan pengetahuan ‘transfering of
knowledge’ kepada siswa–siswinya sebagai peserta didik.
Kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari
angka-angka kelulusan suatu sekolah, tapi yang terpenting adalah tertanamnya
nilai-nilai moral kepada peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Freire
bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.[2] Maksudnya adalah bagaimana pendidikan dapat memberikan
arah yang jelas tentang kondisi dan kualitas peserta didik sebagai pribadi yang
kuat. Sehingga peserta didik memiliki kepercayaan diri dalam mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya dengan tetap berpegang pada batasan moral yang
ada. Sejalan dengan hal tersebut, tugas guru tidak hanya sebatas pengajar,
tetapi yang terpenting adalah sebagai seorang pendidik, memberikan nilai rasa ‘transfering
of values’. Apabila kualitas guru tidak baik dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya serta tidak mampu menempatkan diri sebagai seorang pengajar
dan pendidik, maka akan mempengaruhi kualitas pendidikan.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa lebih
dari sepertiga kualitas pendidikan ditentukan oleh guru, sehingga konstribusi
guru merupakan faktor yang amat menentukan terhadap peningkatan kualitas
pendidikan. Sebagai informasi, berikut persentase konstribusi guru dalam
meningkatkan kualitas pendidikan yang salah satunya dilihat dari prestasi
belajar siswa di beberapa negara berkembang dan negara maju.
Untuk negara-negara berkembang seperti India,
Mesir, Botswana, Thailand, Chile, El Salvador, Colombia, Meksiko, Brazil,
Argentina, Peru, Uganda, Hongaria, Paraguay, Iran dan Bolivia, persentase
konstribusi guru antara 18% sampai dengan 34%. Sementara di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia, Belanda, Jerman, Swedia, Belgia,
Selandia Baru, Australia, Italia dan Jepang, persentase konstribusi guru antara
19% sampai dengan 36%.[3] Uraian tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa
pendidikan tanpa guru tidak akan ada maknanya.
4. Kesimpulan
Usaha untuk meningkatkan kualitas, baik pegawai
negeri sipil secara umum dan profesi
guru secara lebih khusus, mutlak dilakukan sejalan berjenjang, bertahap, dan
terstruktur dengan baik. Adapun spesifik pada guru, peningkatan kualitas
tersebut mencakup peningkatan kredibilitas guru agar dapat bekerja sesuai
standar normatif keilmuan sehingga secara langsung akan meningkatkan kualitas
peserta didik sebagai ‘output’ dengan kualifikasi yang dapat
dihandalkan. Selain itu, secara signifikan kualitas guru yang baik akan
meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan.
Kualitas guru dapat dinilai dari bagaimana guru
tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan standar normatif
keilmuan dan apa yang telah ditetapkan. Sementara faktor yang mempengaruhi
kualitas guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, secara umum,
adalah faktor pribadi (internal) dan lingkungan (eksternal). Faktor internal
adalah motivasi kuat dalam diri guru untuk memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat terutama peserta didik.
Motivasi ini sangat dipengaruhi oleh tanggung jawab
profesi dan panggilan hati nurani (rouping)[4] sebagai seorang pengajar dan pendidik. Di samping itu,
ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas kerja guru, yaitu;
mengikuti studi lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi, seperti program sarjana
(S1) dan magister (S2), mengikuti pelatihan/penataran, penyetaraan, seminar,
dan kegiatan akademik lainnya.
Kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan ke
jenjang yang lebih tinggi akan memberikan peluang bagi guru-guru untuk menambah
ilmu serta pengalaman yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar.
Pelatihan dapat memberikan pengetahuan baru tentang bentuk kerja yang lebih
baik. Sejalan dengan pengamatan Bank Dunia (1998) bahwa, kunci kesuksesan
pendidikan adalah guru—maka guru tersebut harus terdistribui secara merata,
adanya pemberian insentif yang sesuai kepada guru dan guru tersebut telatih
secara baik, (A key part of quality improvement is teachers—having them
equitably distributed, giving them appropriate incentives, and ensuring they
are adequately trained).[5] Sementara keikutsertaan guru dalam seminar-seminar
pendidikan dapat mengembangkan potensi guru dalam pembuatan karya tulis dan
mengembangkan serta memperluas wawasan guru terutama mengenai pendidikan.
[1] J.
Salusu, Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit, (Jakarta: Rasindo, 1996), p. 481
[2] Paulo
Freire, Pedagogy of The Oppressed (New York: Herder and Herder, 1970),
pp. 1-10.
[3] Dedi
Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 1999), pp. 178-179
[4]
Waterink dalam Sardiman A.M., Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar,
(Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003), p. 137.
[5]
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2001), p. 302.